Pendidikan bidang hukum pada perguruan tinggi di Indonesia seidealnya mencakup 2 aspek, yakni aspek teoritis dan aspek praktis.

Aspek teoritis bisa kita dapatkan dari bangku perkuliahan yang sudah menjadi makanan sehari-harinya mahasiswa ilmu hukum di Fakultas-fakultas hukum perguruan tinggi di Indonesia. Aspek ini pula yang menjadi asupan otak sebagai panduan dan landasan berfikir Mahasiswa untuk mengolah suatu permasalahan hukum. Persoalannya, apakah Mahasiswa dapat menerapkan ilmunya hanya dengan kemampuan teoritis saja?

Tidak, adalah jawaban yang pasti ! Hal ini dapat dibuktikan dengan pengembangan sumber daya manusia masa kini, yakni tuntutan akan pengalaman berupa keterampilan. Tentu saja pertanyaan pada saat interview melamar pekerjaan, seperti “Apakah anda sudah pernah bekerja sebelumnya?” atau “Anda sudah punya pengalaman sebelumnya?” bahkan mungkin “Anda memiliki kemampuan apa di bidang hukum?”  dapat menjadi bukti berikutnya dan memang sangat relevan dengan tuntutan  zaman sekarang. Oleh karena itu, dibutuhkanlah aspek yang kedua dalam pendidikan hukum, yakni aspek praktis.

Aspek yang kedua secara sederhana diimplementasikan oleh fakultas hukum perguruan tinggi di Indonesia dengan cara memberikan materi dalam bentuk mata kuliah klinis perdata, pidana, tata usaha negara, bahkan klinis mahkamah konstitusi.

Mata kuliah ini mengajarkan Mahasiswa mengenai tata cara beracara di pengadilan, mulai dari membuat surat kuasa, gugatan/ tuntutan, eksepsi, replik, duplik, pledoi, putusan, dll sampai dengan bagaimana cara seorang terdakwa harus duduk. Mata kuliah ini dilaksanakan dalam bentuk simulasi sidang (moot court), jadi mahasiswa bertugas dalam berbagai peranan seperti dalam situasi selayaknya sidang sesungguhnya. Ada yang menjadi hakim, jaksa, ataupun penasehat hukum (advokat). Mata kuliah ini bertujuan membekali kemampuan praktis Mahasiswa di bidang hukum.

Dihadirkannya mata kuliah klinis, dalam memenuhi aspek praktis pendidikan di bidang hukum memang sudah seharusnya ada dan menjadi kurikulum pada setiap fakultas hukum. Namun, situasi simulasi (dalam keadaan berpura-pura/ latihan) kurang memicu kondisi psikologis Mahasiswa dalam meningkatkan kemampuan emosionalnya atau bukankah klinis ini hanya sekedar mata kuliah  yang apabila kita cermati secara sepintas identik dengan pembekalan teori-teori atau teoritis saja. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Mahasiswa juga dilibatkan dalam penanganan perkara (kasus) hukum yang sesungguhnya pada saat menempuh pendidikan ilmu hukum.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengkritisi suatu mata kuliah, melainkan membahas akan suatu kebutuhan Mahasiswa yang secara nyata harus ada. Menangani perkara yang sesungguhnya atau wacana advokasi sebagai bentuk pembelajaran (proses pendidikan) sudah seharusnya diadakan oleh Fakultas-fakultas hukum perguruan tinggi di Indonesia untuk para Mahasiswanya. Pengetahuan atau ilmu yang tidak diajarkan dalam setiap perkuliahan pun dapat diperoleh melalui hal ini, Misalnya, pada tahap berperkara di wilayah non litigasi harus sudah menguasai kemampuan negosiasi, lobi, konsiliasi, dll. Oleh sebab itu, beberapa fakultas hukum di perguruan tinggi ternama sudah menyediakan dan juga melibatkan para mahasiswanya untuk berpartisipasi pada lembaga tersebut.

Persoalannya adalah seberapa jauh keterlibatan Mahasiswanya, artinya memang harus ada good will dari pihak perguruan tinggi untuk melibatkan para mahasiswanya dalam pengelolaan lembaga bantuan/ kantor/ firma hukumnya dengan tujuan memberikan pendidikan dan pengetahuan kompleks di bidang hukum bagi para Mahasiswa demi memenuhi kedua aspek, yakni teoritis dan praktis.